Ironi pendidikan di Era 4.0 di daerah timur Indonesia, bahkan diperparah dengan Pandemi Covid-19, membuat sebagian pelajar rela bersekolah dengan skema giliran. Bukankah kita di Era 4.0?
Tak kunjung usai Pandemi Covid-19 menghantam seluruh dunia, banyak negara-negara kini telah melaporkan resesi ekonominya, hingga pada buruknya roda perekomian yang tidak pasti. Bukan hanya itu, sebenarnya hal ini menimpa beberapa sektor penting sebagai urat nadi kehidupan masyarakat.
Salah satunya ialah pendidikan. Sejak Pandemi Covid-19 merebak pada awal 2020 lalu, membuat semua sekolah terpaksa diberhentikan. Semua palajar bahkan mahasiswa, dirumahkan guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Bahkan aktivitas belajar pun, terpaksa disesuaikan, melalui daring. Hal ini tentu membuat sebagian orangtua mengeluarkan uang tambahan untuk membeli kuota untuk kebutuhan anaknya dalam melakukan proses belajarnya.
Apakah di Era 4.0 jargon yang sering dikampayekan pemerintah akan berlaku semasa pandemi saat ini? Saya rasa tidak, faktanya, sebagian masyarakat masih mengeluhkan minimnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai.
Tak luput, sebagian pelajar di desa Lite, Kecamatan Adonara Tengah, Kabupaten Flotes Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur merasakan hal ini. Dimana semua pelajar terpaksa dirumahkan, ketika situasi pandemi mulai membludak. Sejak April 2020 lalu, ketika pandemi mulai meningkat, semua sekolah, baik PAUD, TK, SD, SMP dan SMA diberhentikan.
Menanggapi keputusan pemerintah Kabupaten Flores Timur, beberapa sekolah tersebut diberhentikan. Namun, ketika diberhentikan para guru, pemerintah desa dan orangtua mulai kebinggungan, ketika melihat infrastruktur langit (teknologi) tidak memadai. Hal ini tentu, membuat pendidikan terkendala bahkan tersendat, karena dinilai akan berimbas pada kualitas pendidikan.
Bahkan berbulan-bulan, para pelajar di rumahkan tanpa adanya pembelajaran yang rutin dan menjamin kelangsungan pendidikan yang seperti biasanya. Hal ini bukan dikarenakan karena manusianya, pelajarnya, sistem pembelajaran dan tata cara pembelajaran. Tetapi lebih kepada, terhambatnya infrastruktur langit, membuat pendidikan berbasis online akan sulit dijalankan.
Padahal Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan telah menyampaikan bahwa pemerintah hampir menyelesaikan beberapa proyek besar yang dinamakan tol langit. Tetapi nyatanya hal itu tak kunjung dirasakan masyarakat Flores Timur bahkan sebagian besar masyarakat pedalaman yang berada di wilayah Indonesia timur dan daerah-daerah perbatasan terluar lainnya.
Dengan keterbatasan infrastruktur langit tersebut, akhirnya sejak dibuka tahun ajaran baru, membuat para guru membuat suatu kebijakan guna akan tetap meningkatkan pendidikan dari segi pembelajaran, dengan penerapan sistem belajar baru ditengah situasi yang tak menentu tersebut.
Memasuki tahun ajaran baru, pihak sekolah terpaksa membuka sekolah namun tetap mengedepankan protokoler kesehatan. Karena kesehatan merupakan hal utama dan mendasar yang semestinya dinomorsatukan. Dan diputuskan untuk mengaktifkan sekolah dengan cara bergilir. Dimana para pelajar di dapat masuk sekolah kembali, tetapi dengan pelajar yang sangat terbatas dan mengikuti anjuran pemerintah daerah.
Ketika mendengar berita ini, sebagian orang tentu khawatir akan keselamatan para pelajar dan tenaga pendidik. Tetapi bagaimana lagi, jika pelajar diasingkan selama masa pandemi, tanpa adanya proses pembelajaran berlangsung. Dan lebih anehnya lagi, ketika dikota sudah mulai memasuki Era 4.0, terus didesa, daerah-daerah pedalaman, perbatasan dan terluar lainnya, sepertinya masuk di Era yang mana ya?
Saya sendiri masih kebinggungan, karena faktanya daerah-daerah tersebut, memang belum merasakan keadilan dari segi infrastruktur langit. Dimana, ketika pemerintah gencar-gencarnya mengkampayekan Era 4.0 dan digitalisasi, namun sebagian masyarakat hanya menjadi penonton ditanah airnya sendiri.
Berbicara mengenai pendidikan, tentu secara pribadi saya juga mengalami hal tersebut. Dimana semenjak berpindah dari desa untuk melanjutkan pendidikan dikota pada 2016 lalu. Awal-awal, saya kesulitan beradaptasi baik dari segi lingkungan, bahasa, budaya terlebih lagi pada pendidikan. Dalam ingatan saya, masa itu pemerintah sudah mengkampayekan revolusi mental dan Era 4.0.
Dimana ironisnya lagi, ketika memasuki bangku kuliah, saya tidak mampu mengoperasikan komputer. Hal ini membuat saya begitu malu karena dikampung yang kami dapatkan, teori bukan prakteknya secara langsung. Apalagi alat tersebut sangatlah minim dan tentu mahal, ditambah lagi tidak memadainya infrastruktur langit (tol langit atau teknologi) membuat sebagian besar masyarakat akan sulit mendapatkan edukasi, bahkan berbisnis online.
Tak lebih daripada itu, ketika dikota sudah bermacam-macam jaringan, didesa hanya menikmati jaringan Telkomsel. Dimana begitu mahalnya jaringan tersebut, membuat masyarakat semakin malas untuk mengakses dan menggunakan Internet, ditengah dunia begitu maju dan pesat seperti saat ini. Modernisasi begitu canggih bahkan belahan dunia mulai menerapkan robot dan lain sebagainya, disini keadilan penggunaan internet semakin memprihatinkan.